PEKANBARU — Pers yang sehat tumbuh dari keterbukaan, keberagaman latar belakang, serta mekanisme kontrol etik yang berjalan secara independen, bukan dari penyeragaman dan pembatasan.
Semua pihak harus mampu menghormati aturan dan Undang-Undang yang ada, karena UU tentang Pemerintah, Lembaga Publik dan Organisasi Profesi masing-masing telah ditentukan di dalam Undang-Undang itu sendiri.
“Siapa saja sebagai warga Negara bisa menyampaikan pendapatnya di muka umum. Sedangkan Wartawan, adalah melaksanakan tugasnya sebagai Jurnalistik mengabarkan berita sesuai fakta yang ada kepada publik,” kata Bowoziduhu Bawamenewi atau yang akrab disapa Bomen ini. Senin, (22/12/2025).
Secara tegas Bomen menyampaikan bahwa, tidak ada secara personal maupun secara Lembaga manapun, termasuk Negara yang bisa membungkam Wartawan, karena semua telah memiliki aturan secara jelas.
“Sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Per, peran penting Wartawan membangun Bangsa ini melalui pemberitaan yang benar cukup jelas dalam Pilar Demokrasi. Oleh sebab itu, Negara dan Lembaga manapun tidak punya kewenangan menentukan “Wartawan Layak”, apa lagi membungkam dengan alasan tertentu.
Artinya, tidak ada pihak manapun yang bisa membungkam Wartawan, kami bisa pastikan itu. Wartawan Hebat, Rakyat Kuat!,” tegas Pemred salah satu Media Siber dan juga sebagai Ketua DPD Gabungan Wartawan Indonesia (GWI) ini.
Dikutip dari Pernyataan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah periode 2025-2030, Setiawan Hendra Kelana pada acara Diskusi dan Press Tour 2025 bertema “Jurnalis Mencerahkan, Bukan Meresahkan”, yang digelar di Andrawina Hall Hotel Owabong, Jumat (19/12), kembali membuka perdebatan mendasar tentang arah profesionalisme Pers di Indonesia.
Penyamaan profesi Wartawan dengan Advokat, terutama dalam konteks Uji Kompetensi, patut dikritisi secara serius karena berpotensi menyesatkan pemahaman publik tentang hakikat kebebasan Pers.
Perbedaan Konseptual Wartawan dan Advokat dalam Sistem Hukum
Tidak ada pihak yang menolak pentingnya kompetensi. Wartawan memang dituntut memahami etika Jurnalistik, hukum Pers, serta teknik peliputan yang akurat dan bertanggung jawab. Namun, menjadikan profesi Advokat sebagai rujukan adalah kekeliruan konseptual yang mendasar.
Perbedaan antara Wartawan dan Advokat bukan sekadar soal teknis profesi, melainkan menyangkut filosofi dan kedudukan hukumnya dalam sistem demokrasi.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyatakan dalam Pasal 1 angka 4 bahwa, Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan Jurnalistik.
Definisi ini menegaskan bahwa status Wartawan ditentukan oleh praktik kerja Jurnalistik itu sendiri, bukan oleh Lisensi Negara, sumpah jabatan, atau Sertifikat tertentu.
Wartawan adalah bagian dari pelaksanaan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh dan menyampaikan informasi, sebagaimana dijamin Pasal 28F UUD 1945.
Sebaliknya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar Pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
Advokat merupakan profesi tertutup dan ter regulasi secara ketat, mensyaratkan pendidikan, ujian, serta pengangkatan resmi sebelum dapat menjalankan praktik.
UKW Jangan Jadi Alat Pembatasan Jurnalisme

Pandangan kritis terhadap penyamaan tersebut disampaikan Ketua Peradi SAI Purwokerto, H.Djoko Susanto, S.H.
Ia menegaskan bahwa, meskipun Wartawan dan Advokat sama-sama profesi, keduanya berkembang dalam rezim hukum dan konteks sosial yang berbeda, terutama di Era Digital.
“Wartawan dan Advokat memang sama-sama profesi. Tetapi seiring perkembangan zaman, khususnya di Era Digital, setiap orang pada dasarnya bisa mengabarkan peristiwa yang terjadi di ruang publik,” ujarnya.
Menurut Djoko Susanto, menjadikan Uji Kompetensi sebagai syarat utama untuk menjadi Wartawan di tengah realitas tersebut justru tidak relevan.
“Untuk menjadi Wartawan, tidak harus melalui Uji Kompetensi. Yang penting adalah kualifikasi yang jelas dan terukur melalui lembaga atau perusahaan Pers. Dengan begitu, ketika ada keberatan atau sanggahan, ada subjek hukum yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa organisasi seperti PWI, IJTI, dan AJI bukanlah lembaga pemberitaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.
“PWI, IJTI, dan AJI itu organisasi profesi, bukan lembaga Pers. Ini berbeda dengan organisasi Advokat yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Advokat. Untuk menentukan siapa lembaga pemberitaan yang sah, rujukannya tetap Undang-Undang Pers,” katanya.
Dalam konteks tersebut, Djoko Susanto menegaskan bahwa Uji Kompetensi Wartawan bukan kewajiban, melainkan anjuran. “UKW itu dianjurkan kalau boleh saya sebut ‘sunah’ bukan syarat utama menjadi wartawan,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mengkritisi penggunaan diksi mencerahkan dan meresahkan yang kerap dilekatkan secara normatif pada kerja Jurnalistik. Menurutnya, Wartawan tidak dibebani kewajiban moral subjektif semacam itu.
“Tugas Wartawan itu mengabarkan. Tidak ada kewajiban khusus untuk mencerahkan atau meresahkan,” katanya.
Djoko Susanto menegaskan bahwa, Wartawan bukanlah pihak yang menentukan penilaian akhir atas suatu peristiwa. “Ya kan tugasnya mengabarkan, bukan memutuskan,” ujarnya.
Dalam perspektif ini, Jurnalisme berfungsi menyajikan fakta dan konteks, sementara penilaian diserahkan kepada Publik dan mekanisme hukum yang berlaku.
Ia juga mengingatkan adagium klasik dalam Dunia Jurnalistik, bad news is good news, yang kerap disalahpahami.
Berita buruk sering kali justru penting bagi kepentingan publik, selama disajikan secara akurat, berimbang, dan tidak didorong oleh kepentingan tersembunyi.
Penegasan paling penting disampaikan Djoko Susanto pada ujung pernyataannya: “UKW jangan sampai menjadi alat atau alasan untuk membungkam Wartawan.”
Peringatan tersebut relevan di tengah kecenderungan sebagian lembaga publik yang mulai membatasi akses liputan berdasarkan kepemilikan sertifikat UKW.
Praktik semacam ini jelas bertentangan dengan semangat Undang-Undang Pers, yang melarang segala bentuk penghambatan terhadap kerja Jurnalistik.
Negara maupun Lembaga Publik tidak memiliki kewenangan untuk menentukan siapa Wartawan yang “layak” meliput berdasarkan Sertifikasi tertentu.
UKW semestinya tetap ditempatkan sebagai sarana pembinaan dan penguatan profesionalisme, bukan sebagai alat seleksi administratif.
Pers yang sehat justru tumbuh dari keterbukaan, keberagaman latar belakang, serta mekanisme kontrol etik yang berjalan secara independen, bukan dari penyeragaman dan pembatasan.
Oleh karena itu, pernyataan Ketua PWI Jawa Tengah perlu diluruskan secara proporsional. Upaya meningkatkan kualitas Pers tidak boleh ditempuh dengan cara yang berpotensi mengerdilkan kebebasan Pers itu sendiri.
Profesionalisme Jurnalistik tidak dibangun melalui pendekatan ala profesi tertutup seperti Advokat, melainkan melalui Pendidikan berkelanjutan, penegakan kode etik, dan keberanian menjaga independensi Pers dari segala bentuk tekanan.
Mencerahkan publik adalah tujuan ideal Jurnalisme. Namun, Pers yang sehat tidak lahir dari penilaian normatif sepihak, melainkan dari kebebasan untuk mengabarkan fakta secara bertanggung jawab. (Dedi W/Red)
Foto : Bomen bersama Mayjen TNI (Purn) Prihadi Agus Irianto dalam suatu acara di Pekanbaru.
Editor : Red











